Oleh Ester Lince Napitupulu
KOMPAS.com — Bukan
hanya siswa yang terpukul ketika tidak lulus ujian, utamanya ujian
nasional. Para guru yang gagal mencapai nilai minimal saat menjalani uji
kompetensi guru juga merasa terpukul dan malu. Tidak saja malu kepada
sesama rekan guru, tetapi juga kepada siswa, orangtua, dan masyarakat.
Cap
guru tidak profesional seketika melekat pada para guru yang gagal
menjalani uji kompetensi awal (UKA) yang pertama kali dilaksanakan tahun
2012. Yang menjadi korban dari proses ini umumnya guru-guru senior yang
sebenarnya setia mengabdi dalam keterbatasan di sekolah mereka selama
belasan hingga puluhan tahun.
Zainuddin Mansyur (50), guru SDN 4
Suranadi Narmada, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), mengaku
kecewa saat dirinya tidak masuk dalam daftar guru yang lulus ujian.
Pengalamannya selama 27 tahun mengajar sebagai guru SD seakan tak
berarti saat berhadapan dengan 100 soal pilihan ganda yang menguji
kompetensi pedagogi dan profesionalnya.
Bayangan untuk bisa
mendapat selembar sertifikat sebagai guru profesional dari Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) seketika buyar. Bukan soal
tambahan satu bulan gaji semata yang gagal menambah pendapatan yang
membuatnya miris, tetapi anggapan sebagai guru yang belum profesional
yang terasa menyakitkan hati. ”Ada sedikit kecewa, tetapi sudahlah. Saya
coba belajar saja karena ada kesempatan untuk dapat pendidikan dan
pelatihan,” kata Zainuddin.
Saat namanya masuk daftar guru yang
bernilai di bawah 30 sehingga harus menjalani pendidikan dan pelatihan
selama 10 hari di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) NTB di
Mataram, Zainuddin pasrah. Ternyata bukan hanya dirinya seorang guru
senior yang tidak lulus dalam UKA.
Ada 782 guru SD dari 1.132
guru di NTB yang tidak lulus UKA. Umumnya guru SD seniorlah yang gagal
masuk dalam 250.000 guru kuota sertifikasi tahun 2012.
Perasaan
malu dan kecewa itu ditumpahkan guru di hadapan Unifah Rosyidi, Kepala
Pusat Pengembangan Profesi Pendidik Badan Pengembangan Sumber Daya
Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kemdikbud. Unifah
memantau pelaksanaan pendidikan dan latihan (diklat) di LPMP NTB,
beberapa waktu lalu. Sejumlah guru tak kuasa menahan tangis saat
mengungkapkan perasaan kecewa mereka.
”Apa kami yang tidak lulus
ini tidak pantas disebut guru profesional? Apa pengabdian kami selama
ini tidak perlu diperhitungkan untuk bisa lulus?” kata Syafii, seorang
guru SD.
Bukan hukuman
Dengan tangis
tertahan, sejumlah guru meminta supaya pemerintah meluluskan mereka.
Para guru ini pun ingin mendapatkan sertifikat sebagai guru profesional.
Bukan sekadar sebagai dasar untuk bisa mendapat tambahan tunjangan
sertifikasi. Yang lebih penting adalah untuk menghapus cap guru tidak
profesional yang diarahkan masyarakat dan pemerintah kepada guru-guru
senior ini.
”Jangan anggap ketidaklulusan bapak dan ibu guru
sebagai ’hukuman’. Kita sedang berupaya mencari cara terbaik untuk
meningkatkan mutu guru dengan memetakan kompetensi guru yang
sesungguhnya. Guru yang tidak lulus pun tidak dibiarkan, tetapi dibina
dengan lebih terarah dan berkesinambungan,” kata Unifah.
Para
guru yang menjalani diklat selama 10 hari belajar kembali hal-hal dasar
tentang menjadi guru yang mampu menciptakan suasana belajar aktif dan
menyenangkan bagi siswa. Materi pelajaran SD yang seharusnya dikuasai
guru juga diberikan kembali.
Tujuan utamanya adalah membuat guru
”diisi” kembali kepala dan hatinya sehingga ada perbaikan saat mengajar.
32.000
guru
Sebanyak 32.000 guru di seluruh Indonesia yang
gagal UKA tahun ini ikut diklat. Kesedihan karena tak lulus bagi
sebagian guru cukup terbayar dengan konsep-konsep dasar yang diingatkan
kembali. Tips praktis untuk memotivasi siswa belajar juga siap
diterapkan.
Upaya untuk meningkatkan mutu guru memang masih
menjadi tantangan besar. Guru yang sudah bersertifikat, yang telah
diakui sebagai guru profesional, pun nyatanya memiliki kompetensi yang
tak jauh beda dengan guru-guru yang belum tersertifikasi.
Pemerintah
kebakaran jenggot saat dimintai pertanggungjawaban anggaran besar yang
digunakan untuk peningkatan kesejahteraan dan kualitas guru, tetapi
hasilnya belum memuaskan. Kompetensi pedagogi dan profesional guru
secara nasional, yang bersertifikat sekalipun, yang jumlahnya sekitar 1
juta orang, hanya mencapai skor sekitar 45 skala 100. Sungguh ironis!
numpang copas gan....!
BalasHapus